Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), guru tidak perlu lagi menjadi pengkhutbah yang
terus berceramah dan menjejalkan bejibun teori kepada siswa didik.
Sudah bukan zamannya lagi anak diperlakukan bagai keranjang sampah
yang hanya sekadar menjadi penampung ilmu. Peserta didik perlu
diperlakukan secara utuh dan holistik sebagai manusia-manusia
pembelajar yang akan menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya melalui
proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu,
kelas perlu didesain sebagai masyarakat mini yang mampu memberikan
gambaran bagaimana sang murid berinteraksi dengan sesamanya. Dengan
kata lain, kelas harus mampu menjadi magnet yang mampu menyedot
minat dan perhatian siswa didik untuk terus belajar, bukan seperti
penjara yang mengkrangkeng kebebasan mereka untuk berpikir,
berbicara, berpendapat, mengambil inisiatif, ata
u
berinteraksi.

Ketika
sang guru masuk kelas dan menutup pintu, di situlah sang guru akan
menjadi pusat perhatian berpasang-pasang mata siswa didiknya. Mulai
model potongan rambut, busana yang dikenakan, hingga sepatu yang
dipakai akan ditelanjangi habis oleh murid-muridnya. Belum lagi
bagaimana gaya bicara sang guru, caranya berjalan, atau
kedisiplinannya dalam mengajar. Di mata sang murid, guru seolah-olah
diposisikan sebagai pribadi perfect yang nihil cacat dan cela. Itu
juga makna yang tersirat dalam akronim digugu lan ditiru (dipercaya
dan diteladani). Tidak heran kalau banyak kalangan yang berpendapat
bahwa maraknya tindakan premanisme, korupsi, manipulasi,
penyalahgunaan jabatan, pengingkaran makna sumpah pejabat, jual-beli
ijazah, dan semacamnya, gurulah yang pertama kali dituding sebagai
pihak yang paling bertanggung jawab terhadap maraknya berbagai ulah
anomali sosial semacam itu.Lantas, bagaimana? Haruskah guru
ikut-ikutan bersikap permisif dan membiarkan anak-anak larut dalam
imaji amoral dan anomali sosial seperti yang mereka saksikan di
tengah-tengah kehidupan masyarakat? Haruskah gambaran tentang citra
koruptor dan pembalak hutan yang hidup bebas dan lolos dari jeratan
hukum itu kita biarkan terus berkembang dalam imajinasi anak-anak
bangsa negeri ini? Gampangnya kata, haruskah anak-anak kita biarkan
bermimpi dan bercita-cita menjadi koruptor dan pembalak hutan?Kalau
proses pembelajaran berlangsung monoton dan seadanya; guru cenderung
bergaya indoktrinatif dan dogmatis seperti orang berkhotbah, upaya
penyemaian nilai-nilai luhur hakiki saya kira akan sulit berlangsung
dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Apalagi, kalau anak-anak hanya
diperlakukan sebagai objek yang pasif, tidak diajak untuk berdialog
dan berinteraksi. Maka, kegagalan penyemaian nilai-nilai luhur
kepada siswa didik hanya tinggal menunggu waktu. Dalam konteks
demikian, guru perlu mengambil langkah dan inisiatif untuk mendesain
proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Guru memiliki kebebasan untuk melakukannya di kelas.
KTSP sangat leluasa memberikan kesempatan kepada guru untuk
menerapkan berbagai gaya dan kreativitasnya dalam kegiatan
pembelajaran.Melalui kegiatan pembelajaran yang inovatif, atmosfer
kelas tidak terpasung dalam suasana yang kaku dan monoton. Para
siswa didik perlu lebih banyak diajak untuk berdiskusi,
berinteraksi, dan berdialog sehingga mereka mampu mengkonstruksi
konsep dan kaidah-kaidah keilmuan sendiri, bukan dengan cara
dicekoki atau diceramahi. Para murid juga perlu dibiasakan untuk
berbeda pendapat sehingga mereka menjadi sosok yang cerdas dan
kritis. Tentu saja, secara demokratis, tanpa melupakan kaidah-kaidah
keilmuan, sang guru perlu memberikan penguatan-penguatan sehingga
tidak terjadi salah konsep yang akan berbenturan dengan nilai-nilai
kebenaran itu sendiri.Melalui suasana pembelajaran yang kondusif
dengan memberikan kesempatan kepada siswa didik untuk bebas
berpendapat dan bercurah pikir, guru akan lebih mudah dalam
menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki. Dengan cara demikian, peran
guru sebagai agen perubahan diharapkan bisa terimplementasikan
dengan baik. Meskipun korupsi, manipulasi, dan berbagai jenis
penyakit sosial menyebar dan meruyak di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, melalui proses rekonstruksi konsep yang dibangunnya,
anak-anak bangsa negeri ini mudah-mudahan memiliki benteng moral
yang tangguh dalam gendang nuraninya sehingga pantang untuk
melakukan tindakan culas yang merugikan bangsa dan negara.